Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (3): Perilaku tidur, maka dalam sikap makan pun urusannya tidak pendek. Dengan tetap merujuk unen-unen “Wong Jawa panggonane semu”, maka dalam menampilkan pitutur utamanya sopan santun makan para sesepuh dulu juga tidak eksklusif mengatakan: “Jangan .... lantaran ....” atau “jangan .... nanti ....”. secara jelas; yang terang kalau sudah ada perhiasan “ora ilok” maka kita akan berpikir dua kali untuk melanggarnya.
Di bawah merupakan beberapa pola sikap bagaimana semestinya kita makan, utamanya penggunaan ganjal makan, wilayah makan dan adat makan, sekaligus kupasannya mengapa menjadi "ora ilok"
1. AJA SOK MANGAN NYANGGA AJANG, PINCUK, TAKIR, GODHONG LAN SEJENE, MUNDHAK KEMAGA
Boleh-boleh saja kita menggunakan ajang, pincuk, takir, daun dan sebagainya untuk ganjal masakan kita, yang penting jangan disangga (dipegang dengan tangan) lantaran dianggap tidak sopan. Risikonya pun ada yakni masakan yang disangga mudah tumpah, terlebih kalau kesenggol orang lain. Alhasil makan tidak terpuaskan, perut tetap lapar. Makan yang benar merupakan di wilayah yang sudah disediakan, yakni meja makan. Dalam pitutur ini dibilang “mundhak kemaga” (Kemaga: kecewa di kemudian hari lantaran yang dilakukan tidak selesai).
Catatan: Seiring pergeseran jaman, dewasa ini kita sering makan dengan menyangga piring. Misalnya makan prasmanan pada resepsi pernikahan, kecuali kalau yang memanggil "Cina". Justru kita duduk dengan piring disangga meja, bukan tangan.
2. AJA SOK MADHANG AJANG CETHING, MUNDHAK NGENTEK-ENTEKAKE KAMUKTEN
“Cething” merupakan wilayah nasi sebelum didistribusikan ke piring. Bisa saja terjadi orang makan eksklusif dari “cething” misalnya kalau nasi di “cething” tinggal sedikit, kita selesaikan eksklusif dari wadah nasinya (cething). Makan eksklusif dari cething merupakan sikap tidak sopan. Akan muncul kesan serakah bagi yang melihat. Oleh lantaran itu ditakut-takuti dengan “ngentek-entekake kamukten” (hilang rejeki dan kemuliaan di masa depan lantaran sudah dihabiskan kini lewat ”cething”).Boleh-boleh saja kita menggunakan ajang, pincuk, takir, daun dan sebagainya untuk ganjal masakan kita, yang penting jangan disangga (dipegang dengan tangan) lantaran dianggap tidak sopan. Risikonya pun ada yakni masakan yang disangga mudah tumpah, terlebih kalau kesenggol orang lain. Alhasil makan tidak terpuaskan, perut tetap lapar. Makan yang benar merupakan di wilayah yang sudah disediakan, yakni meja makan. Dalam pitutur ini dibilang “mundhak kemaga” (Kemaga: kecewa di kemudian hari lantaran yang dilakukan tidak selesai).
Catatan: Seiring pergeseran jaman, dewasa ini kita sering makan dengan menyangga piring. Misalnya makan prasmanan pada resepsi pernikahan, kecuali kalau yang memanggil "Cina". Justru kita duduk dengan piring disangga meja, bukan tangan.
2. AJA SOK MADHANG AJANG CETHING, MUNDHAK NGENTEK-ENTEKAKE KAMUKTEN
3. NEK MADHANG AJA SOK SALIN AJANG, BESUK MUNDHAK WAYUH UTAWI TUMRAPIPUN DHATENG LARE ESTRI: DIWAYUH
Makan berganti-ganti “ajang” (piring) merupakan sikap kurang pas. Yang terang tidak hemat lantaran memperbesar jumlah cucian piring kotor. “Wayuh” merupakan kawin lagi, punya isteri lebih dari satu. Kalau "wayuh" namun rukun memang tidak masalah, namun kalau tidak rukun akan banyak membuat kesusahan. Keluarga bahkan tetangga dapat ikut prihatin. Ancamannya disini, kalau makan ganti-ganti piring, nanti akan sering kawin, atau ganti-ganti istri (untuk laki-laki). Sedangkan untuk perempuan, suaminya akan kawin lagi.
Catatan: Jaman kini kalau seruan manten kita niscaya makan berganti-ganti piring. Habis ambil lontong kikil, ganti tahu campur, lanjut dengan kambing guling dan seterusnya seiring dengan penjelajahan kita dari meja ke meja. Baiknya kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di resepsi.
4. NEK MADHANG AJA NGOLAH-NGALIH PANGGONAN, BESUK MUNDHAK KEREP RABI UTAWA LAKI
Penjelasannya sama dengan angka 3 di atas, bedanya yang pertama makan berganti-ganti piring, yang ini makan pindah-pindah tempat. Ancamannya sama: pria akan sering kawin, perempuan akan punya madu, mungkin tidak cuma satu.
Catatan: Jaman kini kalau menghadiri sebuah resepsi, niscaya kita akan makan sambil jalan-jalan. Mencari santapan sekaligus menyapa teman-teman yang hadir. Kembali kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di luar rumah. Kalau di rumah sebaiknya ya di meja makan dan tidak pindah-pindah wilayah hingga simpulan makan.
5. AJA MADHANG ANA NGILO-ILO, MUNDHAK DIILONI SETAN
“Ngilo-ilo” merupakan wilayah di balik bayang-bayang lampu. Pengertiannya merupakan jangan makan di wilayah gelap, lantaran akan dibarengi setan. Makan semestinya di meja makan dengan penerangan yang baik. Makan di keremangan dapat menenteng risiko serius. Contoh paling umum adalah duri ikan menyangkut di kerongkongan, lantaran tidak terlihat.
6. YEN NENGAHI MAMAH, NANEDHA AJA CECATURAN, MUNDHAK KESELAK
Sebenarnya ini bukan gugon tuhon. Pitutur dan balasannya terang dan eksklusif masuk akal. Apa keuntungannya bicara sementara lisan kita masih sarat makanan. Disamping artikulasi kata menjadi tidak jelas, masakan pun dapat tumpah keluar dari mulut. Dalam subasita Jawa sikap ini tergolong tidak sopan. “Keselak” atau tersedak, bukan bahaya yang menakutkan, dan memang demikianlah yang sering terjadi kalau orang makan sambil bicara. Celakanya kalau habis tersedak dibarengi cegukan. Kalau makan sendirian, di rumah, tidak masalah. namun kalau makan bareng orang lain, amat memalukan.
7. AJA SOK MEMANGAN KARO NGILO, MUNDHAK DIEWANI UWONG
Ada juga orang yang tengah-tengah makan (umumnya wanita) mengambil cermin dari tas kemudian berkaca. Ancamannya juga wajar, yakni tidak disenangi (diewani) orang. Yang terang sikap ini tidak sopan namun celakanya justru lebih sering terjadi kalau kita sedang makan bareng orang lain, misalnya pada seruan makan malam. Kalau memang ada sesuatu sehingga kita perlu bercermin, mengapa tidak minta ijin sebentar, kita bercermin di toilet.
8. AJA SOK NGOKOP KOKOHAN, MUNDHAK PETENG ATINE
“Ngokop” merupakan lisan eksklusif nempel ke piring. Sering kita jalankan untuk menghabiskan kuah sayuran, misalnya “sup” atau masakan yang lembek, misalnya “bubur”. Perilaku begini cuma dilakukan orang yang tidak tahu subasita atau tatakrama.
9. YEN SAMBELE UWIS ENTEK, AJA NYAMBEL MANEH, MUNDHAK ORA ILOK.
Sambal yang yummy akan laris keras dan dapat habis sebelum acara makan selesai, kemudian kita menghasilkan sambal lagi. Perilaku ini dibilang “ora ilok” namun masuk nalar juga. Sambal merupakan sesuatu yang merangsang lambung. Terlalu banyak makan sambal salah-salah kita sakit perut dan diare.
10. YEN MADHANG AJA SOK NISA, MUNDHAK MATI PITIKE.
Kalau dikaji-kaji, alasannya memang tidak masuk akal. Justru kalau sisa masakan banyak, ayam kita akan gemuk. Tetapi maksud orang renta kita yang sesungguhnya adalah:
a. Manusia mesti tahu ukuran. Lebih baik nambah ketimbang menyisakan.
b. Manusia mesti tahu diri. Disini kita buang-buang masakan sementara di luar sana ada insan yang mengais sisa-sisa makanan
c. Siapa yang mau makan sisa makanan? Berarti kita sudah membuang-buang rejeki Allah. Dalam pitutur lain dibilang kalau nasi tidak dihabiskan Dewi Sri akan menangis (Baca Dewi Sri: Ikut mendidik anak).
KESIMPULAN
Perilaku makan di atas banyak terkait dengan hukum tatakrama, misalnya jangan makan sambil bicara, jangan bercermin dikala makan dan jangan makan eksklusif dari cething. Disamping itu tersirat aliran untuk menertibkan diri, misalnya kalau sambal habis tidak usah bikin yang gres dan kalau makan jangan ada sisa. Ada juga yang menyibukkan dipraktekkan di jaman moderen ini, misalnya lantaran suasana dan keadaan maka banyak orang makan berganti-ganti piring sambil bicara dan jalan-jalan. Waktu, ruang dan orang memang sudah berganti. (IwMM)
0 Komentar untuk "Gugon Tuhon, Tidak Sekedar Ora Ilok (4): Sikap Makan (A)"