Gugon Tuhon, Tidak Sekedar “Ora Ilok” (5): Sikap Makan (B)

Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (4): Perilaku makan (A), maka dalam sikap makan (B) mengenai apa yang kita makan, keadaannya menjadi lebih rumit. Disini kita akan lebih banyak mendapat “gugon tuhon” yang menyibukkan dicerna nalar dan memang tidak masuk akal, kecuali dalam bahasa perlambang. Beberapa contoh di bawah sanggup dijadikan acuan.

 Disini kita akan lebih banyak mendapat  GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK” (5): PERILAKU MAKAN (B)
 
 
1. AJA SOK SARAPAN SEGA WADHANG, MUNDHAK PETENG ATINE
 
“Sega wadhang” merupakan nasi sisa tadi malam. Orang Jawa jaman dahulu menyampaikan “hawa sega wadhang amat dingin”. Kalau kita pagi-pagi sarapan “sega wadhang” lalu berangkat kerja atau sekolah, maka hawa hambar akan berlainan dengan panas siang hari. Badan kita akan meriang, panas dingin. Otak menjadi tumpul, malas kerja.
 
Bagaimanapun yang satu ini masih masuk akal. Nasi yang telah bermalam semalaman, tidak cuma keras dan hambar namun juga potensial terkontaminasi bibit penyakit lebih-lebih bila kawasan menyimpannya tidak aman, sanggup dimasuki serangga pembawa penyakit, misalnya kecoak.
 
Bukannya kita dihentikan makan sega wadhang. Sepanjang disimpan baik-baik dan sebelum dikonsumsi dipanasi lebih dahulu sesuai hukum pemanasan, pastinya aman. Hanya jikalau kita tidak dapat menjamin keamanannya, lebih baik tidak usah dimakan.
 
 
2. AJA SOK MANGAN IWAK TELAMPIK, MUNDHAK DITAMPIK JAKA UTAWA PRAWAN
 
“Telampik” merupakan sayap unggas yang dapat dipakai untuk menghantam (ngabruk, nladhung) musuh-musuhnya. Kata “Telampik” berasal dari kata dasar “Tampik” (tolak) dengan sisipan “el”.  Analoginya sekaligus perlambang, jikalau makan sayap ayam (telampik, chicken wings) nanti saatnya cari jodoh akan ditampik (ditolak). Tidak cuma ditampik di saat cari jodoh, namun akan ditolak untuk semua yang urusannya menggunakan mekanisme lamaran. Mencari kerja, mengirim postingan ke koran atau majalah, dll. Benar apa tidak, sumangga.
 
 
3. AJA SOK MANGAN BRUTU, MUNDHAK KEDHUWUNG BURI. LUWIH BECIK MANGANA ENDHAS UTAWA CAKAR BAE. KAREBEN BISA CUCUK-CUCUK UTAWA CEKER-CEKER
 
Yang ini juga cuma bisa dimengerti dengan bahasa perlambang. Brutu (bagian ekor ayam, chicken ass) rasanya paling gurih, disokong dagingnya yang lunak dengan tulang amat kecil. Sementara kepala dan ceker ayam tulangnya besar dagingnya pun sedikit. Otak ayam memang enak, namun kita mesti memecah tulang kepala lebih dahulu sebelum menyantapnya.
 
Bahasa perlambang disini adalah: sesuai peribahasa “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” maka anak muda yang makan brutu menyerupai “bersenang-senang dahulu”. Seterusnya bisa menyesal seandainya di belakang hari yang terjadi merupakan “bersakit-sakit kemudian”. Yang diinginkan kini ini adalah: Ceker (kaki ayam) untuk mencari masakan dan paruh (yang ada di kepala ayam) untuk mematuk makanan.
 
 
4. AJA MANGAN IWAK ATI, MUNDHAK SEBEL ING SAMUBARANG
 
Hati ayam, sebenarnya tergolong juga alat dalam (jeroan) lainnya mirip usus dan jantung, tergolong yang dihentikan dimakan. Yang terang “jeroan” itu enak, lunak dan tidak bertulang. Orang Barat kebanyakan tidak makan “jeroan”. Orang Maluku Utara tahun 1980an permulaan juga membenci jeroan, sehingga teman-teman Jawa yang akan bikin nasi tim untuk balitanya kesusahan cari hati ayam, kecuali ada orang menyembelih ayam, kita minta jeroannya sebelum keburu dibuang. Yang terang “jeroan” kholesterolnya tinggi.
 
 
5. AJA SOK ANGGANYANG KRAMBIL, MUNDHAK KREMINEN
 
Parutan kelapa memang menyerupai “cacing keremi” namun tidak ada keterkaitan sama sekali antara makan daging kelapa dengan penyakit kecacingan utamanya “kereminen”. Walau demikian kelapa yang telah siap di dapur untuk dijadikan bumbu masak, misalnya santan, janganlah kita pindah ke mulut. Kelapa yang jadi bumbu akan menyusut dan pada gilirannya sedap dan gurihnya masakan pun akan berkurang
 
 
6. AJA SOK LALAP NGANGGO LOMBOK ABANG, MUNDHAK ORA DUWE SEDULUR
 
Lombok merah, tujuannya lombok yang besar biasanya dipakai untuk menghasilkan sambal, bukan untuk “diceplus” selaku lalap waktu kita mengkonsumsi tahu bacem atau tempe. Entah apa sebabnya lombok besar tidak kita pakai selaku lalap. Apa barangkali ada “wewaler” (larangan) bahwa jikalau lalap lombok merah akan tidak memiliki teman? Reasoningnya tidak ada. Yang berlaku lazim merupakan lombok rawit untuk lalap dan lombok merah tergolong juga lombok hijau untuk sambal. Orang yang mengeremus lombok merah untuk lalap akan dianggap nyentrik. Kalau ragu-ragu silakan coba di depan umum.
 
 
7.  NEK ISIH BOCAH DHEMEN MANGAN INTIP, BESUK TUWANE SUGIH SANDHANGAN
 
Bedakan dengan intip goreng atau intip yang dikrawu dengan kelapa parut lantaran yang dua ini masuk katagori “nyamikan” (penganan). “Intip” yang dimaksud disini merupakan kerak nasi dari hasil kita menanak nasi dengan cara diliwet. Jelas keras dan liat, jadi mengunyahnya mesti lebih telaten. Kalau mau lunak ya direndam dahulu dengan kuah sayuran, misalnya lodeh.
 
Keterkaitan antara suka makan intip dengan kelak punya banyak baju jelas tidak ada. Tetapi nilai ketelatenan dari orang yang makan intip bila dibarengi dengan ketelatenan dalam melakukan sesuatu, misalnya sekolah, bekerja, menabung dan sebagainya pastinya akan berbuah: bisa beli baju banyak.
 
 
8. YEN MANGAN SEMANGKA, NANGKA SABRANG (SIRSAT), SAWO LAN SANESIPUN INGKANG MAWI ISI ALIT-ALIT: BANGSANIPUN KECIK, AJA NGANTI KATUT ISINE, MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
 
Biji buah-buahan apa saja yang tertelan terang tidak akan bersemi dalam badan lalu berkembang dan nongol di jidat kita. Biji-biji itu tidak tercerna namun akan keluar bareng kotoran waktu kita buang air besar. Kalau perut banyak kemasukan barang keras yang tidak dapat dicerna,  bisa saja terjadi gangguan pencernaan. Nasihatnya benar, namun alasannya tidak masuk akal. Untuk menakut-nakuti anak memang cespleng, sehingga anak-anak  hati-hati jikalau makan buah-buahan yang berbiji, ketimbang di kepalanya berkembang pohon.
 
 
9. AJA NGEMUT KECIK, MENGKO NEK KOLU MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
 
Hampir sama dengan angka 8 di atas. Bedanya yang satu kita sedang makan buah dan yang ini kita memang mengulum biji buah tanpa makan buah. “Kecik” merupakan biji sawo kecik. Jaman dahulu dipakai belum dewasa untuk main dakon atau laga kecik. Sering dengan sadar atau tanpa sadar biji sawo ini mereka kulum mirip permen, dengan  risiko tertelan. Tidak ada perkara dengan biji yang tertelan, tidak akan berkembang di dahi kita. Yang jelas, biji buah yang telah dijadikan alat bermain dan pindah-pindah tangan pastinya kotor. Mengulum barang kotor sama dengan mendekatkan penyakit. Kaprikornus nasihatnya benar namun penjelasannya mesti diluruskan.
 
 
KESIMPULAN
 
Terkait dengan masakan yang kita makan maka gugon tuhon lebih banyak yang tidak masuk akal. Larangan untuk tidak makan sesuatu mesti kita cermati baik-baik. Misalnya larangan makan sesuatu yang bergizi dan ditujukan terhadap belum dewasa yang masih berkembang kembang dan ibu hamil. Kalau kita ragu, tanyakan terhadap ahlinya.  Diantara larangan tersebut ada yang masuk nalar dan benar, namun penjelasannya yang mengada-ada.  Hal ini perlu diluruskan supaya tidak terjadi salah terima (IwMM).

 Disini kita akan lebih banyak mendapat  GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK” (5): PERILAKU MAKAN (B)
 

Related : Gugon Tuhon, Tidak Sekedar “Ora Ilok” (5): Sikap Makan (B)

0 Komentar untuk "Gugon Tuhon, Tidak Sekedar “Ora Ilok” (5): Sikap Makan (B)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)