Sejak permulaan tahun 2005 dimana proses pembangunan jalan tol Cipularang sedang berjalan, maka di dikala itulah mulai terdengar lonceng maut pada perjalanan Kereta Api untuk jurusan Jakarta – Bandung (PP). Hal ini memang bekerjsama sudah menjadi perbincangan yang hangat bagi para masinis, kondektur beserta para awak KA di dikala itu.
Ternyata benar, 5 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 27 April 2010 terbukti bahwa PT Kereta Api (Persero) lewat Surat Direksi pastikan untuk menutup perjalanan salah satu kereta api yang beroperasi di wilyah ini yakni KA Parahyangan. Beragam tanggapanpun tiba bertubi-tubi, baik dari pengamat transportasi, alumni pengguna KA Parahyangan (artis & masyarakat), serta para railfan.
Sebenarnya apabila kita boleh memilih, memang lumayan banyak cara dalam menempuh perjalanan Jakarta - Bandung. Bisa dengan transportasi udara ataupun transportasi darat, dimana keputusan terakhir ya berada di tangan masing-masing individu. Namun apabila boleh berpikir lagi lebih jauh, ternyata semua ini merupakan suatu opsi yang sudah dikontrol / ditawarkan oleh para pembuat kebijakan transportasi di negeri ini. Kita selaku warga negara yang bagus cuma bisa ikut mengamati dan menjalaninya saja.
Jika kita menggunakan transportasi udara tetap gak akan bisa mengalahkan transportasi darat untuk jarak bersahabat hingga menengah lantaran aspek check in dan check out / ambil bagasi, protokol transportasi udara tetap mensyaratkan hal ini, itulah sebabnya di Eropa transportasi udara kalah melawan Kereta Api.
(kecuali apabila transportasi udaranya helikopter yang dapat pribadi mendarat di atap gedung di Kuningan, misalnya), belum lagi letak airportnya yg tidak dipusat kota, tetap akan hilang sekitar 1 jam untuk urusan ini. Apalagi apabila jalan menuju airport sedang tergenang air, dapat menjadi lebih.
Memang sepertinya penduduk Indonesia (terutama yg tinggal di koridor Bandung - Jakarta) mesti mengalami dahulu "macet - macet - total - total" gres ngeh dan mencar ilmu plus sadar bahwa hingga kapanpun jalan raya / toll SENDIRIAN tidak akan pernah bisa menyelesaikan dan memberi jawaban yg terbaik cara bepergian (apalagi untuk koridor menyerupai seakan-akan Bandung - Jakarta). Baru sadar apabila sudah telat nanti dan harga yg dibayar akan terlalu mahal, lantaran INTANGIBLE Cost nya gak pernah ikut dihitung.
Kalau kita mau jujur ke diri kita sendiri, coba dijawab pertanyaan2 ini :
> memangnya apabila (misalnya) jalan toll dibentuk sepuluh jalur dua arah, apa ya gak kelelep jalan di dalam kota Bandung dan Jakarta memuat arus masuk yg segitu gede (artinya membangun jalan toll sendiri - meskipun swasta dan mampu, itu merupakan cerminan berpikir cuma sepihak dan "egois", short sight, impaknya ke seluruh tata cara jalan dalam kota2 akan sungguh berat / kejadian bikinan insan modern).
> apabila semua pakai kendaraan beroda empat (DAN TIDAK EFISIEN / SE EFISIEN KA) apakah masih cukup BBM FOSSIL untuk semua mobil, katakan hingga 25 - 50 tahun kedepan, kalaupun ada bagaimana apabila harganya selangit, apa masih kebeli (mau seluruhnya pakai hybrid??)
> apabila semua lahan diubah jadi jalan toll dan selaku "domino efek" jalan pengumpan maupun penerimanya juga terpaksa di perlebar dan mencaplok apa saja di kiri kanannya, apa masih tersisa lahan buat sawah, kebun, rumah, fasilitas sosial, taman, jalur hijau, sekolah, lapangan olahraga dll. Bukannya ini akan jadi "the end of the world" di saat sejauh mata menatap cuma terlihat jalan - jalan - jalan thok.
> berapa harga yg mesti dibayar untuk korban2 akhir polusi, sakit kronis, sakit akut, maut dini, kecelakaan Lalin akhir berseliwerannya jalan toll dan jalan lain dimana2, sesuatu yg selau "dilewat" oleh para pelaku bisnis jalan raya (yg egois) krn gak pernah mau rugi (pura2 bodoh, buta & budeg dan gak mau tahu).
INTI masalahnya tetap tidak / belum diketahui oleh sebagian penduduk awam yg "tertipu" oleh janji2 jalan toll. Padahal yang mesti senantiasa diukur merupakan Efisiensi Pengangkutan per luas lahan yg ditempati, dalam bahasa yg lebih teknis = berapa orang yg bisa dimuat per luas kendaraan / lahan yg ditempati.
Jangan mau di"bebodo" sama Pak DI, beliau kan tergolong golongan yg menyaksikan sesuatu dari sisi enaknya saja (menurut dia), bahasa yang lain potongan yg beliau suka beliau akan ngomong keras ke-mana2, potongan yg beliau tidak suka, gak akan di singgung2 sama sekali. TIDAK OBJEKTIF. Semua orang juga mengenali bagaimana Cina membangun jalan KA di mana2 di pelosok negaranya untuk mencapai banyak sekali wilayah terpencil, plus merambah ke manca negara. Tapi lantaran DI gak suka KA, maka gak bakalan beliau dongeng soal kegigihan Cina membangun jaringan KA, yg beliau suka kendaraan beroda empat (dan jalan toll) maka beliau ber-koar2 lewat media miliknya soal kendaraan beroda empat (dan jalan toll).
Celakanya pemerintah sendiri tak berdaya lantaran sudah cekak duitnya, masih juga di"gerogoti" para tikus berdasi yg sungguh "kreatif dan pinter2", balasannya cuma bisa nurut dan ngalah terus ke selera para pelaku bisnis.
Gak akan berpanjang dan bersilat kata, photo disamping ini menyediakan bagaimana seluruh penumpang dari mobil-mobil ini apabila dimuat di KA cuma akan menyanggupi dua kereta saja, (dari tujuh buah kereta per set). Tapi lantaran ngeyel maunya naik kendaraan beroda empat sendiri, ya monggo, silakan :
- berboros lahan buat jalan
- berboros BBM fossil buat mobil
- berboros Polusi akhir mobil
- berboros waktu (karena akhirnya macet)
- berboros lahan parkir di sentra kota
- berboros tertekan di sepanjang jalan
- berboros dll dll dll dst dst.
Pilihan ditangan Anda, apabila masih mau ingat nasib anak cucu nanti yg bakal diwarisi tata cara yg "krudit, amburadul, salah dan catastrophic".
Sekian.
Quote from “ST”
Ternyata benar, 5 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 27 April 2010 terbukti bahwa PT Kereta Api (Persero) lewat Surat Direksi pastikan untuk menutup perjalanan salah satu kereta api yang beroperasi di wilyah ini yakni KA Parahyangan. Beragam tanggapanpun tiba bertubi-tubi, baik dari pengamat transportasi, alumni pengguna KA Parahyangan (artis & masyarakat), serta para railfan.
Sebenarnya apabila kita boleh memilih, memang lumayan banyak cara dalam menempuh perjalanan Jakarta - Bandung. Bisa dengan transportasi udara ataupun transportasi darat, dimana keputusan terakhir ya berada di tangan masing-masing individu. Namun apabila boleh berpikir lagi lebih jauh, ternyata semua ini merupakan suatu opsi yang sudah dikontrol / ditawarkan oleh para pembuat kebijakan transportasi di negeri ini. Kita selaku warga negara yang bagus cuma bisa ikut mengamati dan menjalaninya saja.
Jika kita menggunakan transportasi udara tetap gak akan bisa mengalahkan transportasi darat untuk jarak bersahabat hingga menengah lantaran aspek check in dan check out / ambil bagasi, protokol transportasi udara tetap mensyaratkan hal ini, itulah sebabnya di Eropa transportasi udara kalah melawan Kereta Api.
(kecuali apabila transportasi udaranya helikopter yang dapat pribadi mendarat di atap gedung di Kuningan, misalnya), belum lagi letak airportnya yg tidak dipusat kota, tetap akan hilang sekitar 1 jam untuk urusan ini. Apalagi apabila jalan menuju airport sedang tergenang air, dapat menjadi lebih.
Memang sepertinya penduduk Indonesia (terutama yg tinggal di koridor Bandung - Jakarta) mesti mengalami dahulu "macet - macet - total - total" gres ngeh dan mencar ilmu plus sadar bahwa hingga kapanpun jalan raya / toll SENDIRIAN tidak akan pernah bisa menyelesaikan dan memberi jawaban yg terbaik cara bepergian (apalagi untuk koridor menyerupai seakan-akan Bandung - Jakarta). Baru sadar apabila sudah telat nanti dan harga yg dibayar akan terlalu mahal, lantaran INTANGIBLE Cost nya gak pernah ikut dihitung.
Kalau kita mau jujur ke diri kita sendiri, coba dijawab pertanyaan2 ini :
> memangnya apabila (misalnya) jalan toll dibentuk sepuluh jalur dua arah, apa ya gak kelelep jalan di dalam kota Bandung dan Jakarta memuat arus masuk yg segitu gede (artinya membangun jalan toll sendiri - meskipun swasta dan mampu, itu merupakan cerminan berpikir cuma sepihak dan "egois", short sight, impaknya ke seluruh tata cara jalan dalam kota2 akan sungguh berat / kejadian bikinan insan modern).
> apabila semua pakai kendaraan beroda empat (DAN TIDAK EFISIEN / SE EFISIEN KA) apakah masih cukup BBM FOSSIL untuk semua mobil, katakan hingga 25 - 50 tahun kedepan, kalaupun ada bagaimana apabila harganya selangit, apa masih kebeli (mau seluruhnya pakai hybrid??)
> apabila semua lahan diubah jadi jalan toll dan selaku "domino efek" jalan pengumpan maupun penerimanya juga terpaksa di perlebar dan mencaplok apa saja di kiri kanannya, apa masih tersisa lahan buat sawah, kebun, rumah, fasilitas sosial, taman, jalur hijau, sekolah, lapangan olahraga dll. Bukannya ini akan jadi "the end of the world" di saat sejauh mata menatap cuma terlihat jalan - jalan - jalan thok.
> berapa harga yg mesti dibayar untuk korban2 akhir polusi, sakit kronis, sakit akut, maut dini, kecelakaan Lalin akhir berseliwerannya jalan toll dan jalan lain dimana2, sesuatu yg selau "dilewat" oleh para pelaku bisnis jalan raya (yg egois) krn gak pernah mau rugi (pura2 bodoh, buta & budeg dan gak mau tahu).
INTI masalahnya tetap tidak / belum diketahui oleh sebagian penduduk awam yg "tertipu" oleh janji2 jalan toll. Padahal yang mesti senantiasa diukur merupakan Efisiensi Pengangkutan per luas lahan yg ditempati, dalam bahasa yg lebih teknis = berapa orang yg bisa dimuat per luas kendaraan / lahan yg ditempati.
Jangan mau di"bebodo" sama Pak DI, beliau kan tergolong golongan yg menyaksikan sesuatu dari sisi enaknya saja (menurut dia), bahasa yang lain potongan yg beliau suka beliau akan ngomong keras ke-mana2, potongan yg beliau tidak suka, gak akan di singgung2 sama sekali. TIDAK OBJEKTIF. Semua orang juga mengenali bagaimana Cina membangun jalan KA di mana2 di pelosok negaranya untuk mencapai banyak sekali wilayah terpencil, plus merambah ke manca negara. Tapi lantaran DI gak suka KA, maka gak bakalan beliau dongeng soal kegigihan Cina membangun jaringan KA, yg beliau suka kendaraan beroda empat (dan jalan toll) maka beliau ber-koar2 lewat media miliknya soal kendaraan beroda empat (dan jalan toll).
Celakanya pemerintah sendiri tak berdaya lantaran sudah cekak duitnya, masih juga di"gerogoti" para tikus berdasi yg sungguh "kreatif dan pinter2", balasannya cuma bisa nurut dan ngalah terus ke selera para pelaku bisnis.
Gak akan berpanjang dan bersilat kata, photo disamping ini menyediakan bagaimana seluruh penumpang dari mobil-mobil ini apabila dimuat di KA cuma akan menyanggupi dua kereta saja, (dari tujuh buah kereta per set). Tapi lantaran ngeyel maunya naik kendaraan beroda empat sendiri, ya monggo, silakan :
- berboros lahan buat jalan
- berboros BBM fossil buat mobil
- berboros Polusi akhir mobil
- berboros waktu (karena akhirnya macet)
- berboros lahan parkir di sentra kota
- berboros tertekan di sepanjang jalan
- berboros dll dll dll dst dst.
Pilihan ditangan Anda, apabila masih mau ingat nasib anak cucu nanti yg bakal diwarisi tata cara yg "krudit, amburadul, salah dan catastrophic".
Sekian.
Quote from “ST”
0 Komentar untuk "Jakarta - Bandung, Antara Suatu Pilihan"